Teknologi digital telah melupakan kita dari istilah
12, 24, atau 36 kutip. Istilah yang melekat pada penggunaan kamera analog. Keberadaan
teknologi digital tentunya memberikan kemudahan dan kemurahan dalam
penggunaannya.
Dalam pengkajian luka, teknologi digital menjadi telah
menjadi bagian dari alat diagnostic untuk pengkajian maupun evaluasi perawatan
luka. Penggunaan digital imaging dalam pengkajian luka memberikan informasi
yang sangat banyak hanya dengan sekali jepret.
Sayangnya hingga saat ini pemahaman, penggunaan dan
interpretasi hasil digital imaging masih sangat kurang. Sehingga data-data yang
diperoleh tidak lebih hanya sebatas warna dasar luka, lokasi luka, dan ukuran
luka. Sebelum kita mengupas tuntas
optimalisasi penggunaan kamera digital dalam perawatan luka perlu kita pahami
aspek legalnya dulu….
Penggunaan kamera digital dalam pengkajian luka sudah
bertransformasi menjadi bagian darai catatan medis (medial record). Oleh karena
itu ada 3 issue yang perlu dipertahatikan (Scheinfeld, 2004).
2. Hasil foto sudah memiliki nilai evidence.
3. Hasil foto harus mengandung aspek legal (baik yang difoto maupun yang memfoto).
Karena telah menjadi bagian dari catatan medis, maka
foto tidak bisa dirubah atau dimanipulasi sebagaimana kita tidak boleh
menghapus catatan medis. Kedua karena memiliki nilai evidence maka hasil foto
tidak hanya menjadi bukti medis tapi juga bisa menjadi alat bukti perbuatan hukum
di pengadilan. Dan yang terakhir foto harus memiliki aspek legal baik dari
pasien maupun dari praktisi.
Nah, mari kita bijak dalam memanfaatkan digital
imaging dalam pengkajian luka….
Reference
Scheinfeld,
N. (2004). Photographic images, digital imaging, dermatology, and the law. Archives
of dermatology, 140(4), 473–6. doi:10.1001/archderm.140.4.473
Tidak ada komentar:
Posting Komentar