Rabu, 18 Agustus 2010

KANTONG GULA PASIR MURAH TAPI MENYAKITKAN

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN

Sekotor dan sebau apapun toilet, masih merupakan tempat paling nyaman untuk buang hajat. Terserah bagaimana modelnya, cemplung, jongkok atau duduk yang penting privasi terjaga.

Namun ada beberapa kondisi medis (paling umum adalah Kanker Usus Besar) yang mengharuskan pasien menjalani operasi pembuatan anus buatan pada dinding abdomen. Stoma begitulah kita mengenalnya, stoma berarti mulut karena secara anatomis berbentuk orificium yang berasal dari lapisan mukosa usus kemudian dijahit keluar ke dinding abdomen (mucocutaneus junction). 

Apabila stoma tersebut berasal dari colon maka disebut colostomy, bila dari ileum disebut ileostomy dan bila dari ureter disebut ureterostomy sedangkan pasiennya disebut ostomate. Di Indonesia Ostomate berasal dari berbagai kalangan, mulai dari wartawan, pramugari, bupati hingga gubernur 

Sayangnya di Indonesia operasi konstruksi stoma tidak dibarengi dengan persiapan pre operasi dan post operasi yang adekuat yang memungkinan pasien dapat berpartisipasi dalam penentuan lokasi stoma (stoma sitting), memilih kantong stoma yang tepat, memahami implikasi fisiologis pasca operasi stoma, mendapat support psikologis pasca stoma, dipertemukan dengan support system yang ada (ostomate association) dan diperkenalkan dengan ET Nurse yang bisa dihubungi (hak ostomate).

Penggunaan kantong gula pasir plus plester seakan menjadi pilihan pertama bagi pasien post operasi konstruksi stoma, bahkan seolah-olah sudah menjadi protokol tetap pasca operasi. Murah menjadi legitimasi penggunaan kantong gula pasir sebagai pengganti colostomy bag. Padahal penggunaan kantong gula pasir sebagai kantong stoma sangat tidak fungsional bahkan tidak manusiawi.
Kantong stoma yang baik setidaknya harus memenuhi unsur:
  1. Dapat menampung feses.
  2. Dapat mengontrol bau.
  3. Melindungi kulit sekitar stoma.
  4. Mudah dipasang dan dilepas tanpa bantuan.
  5. Mempertimbangkan aspek estetika.




Resiko pertama dan yang paling sering terjadai adalah kebocoran. Kebocoran mengakibatkan kulit sekitar stoma yang sehat terkontaminasi oleh feses dan cairan usus. Cairan usus yang kaya akan enzim-enzim pencernaan akan mencerna lapisan epidermis. akibatnya erythema, maserasi, hingga ulcerasi. Yang kedua adalah tingginya frekuensi penggantian kantong, sebab plester yang digunakan tidak didesain untuk bisa menahan beban feses. Ketiga adalah masalah estetika dan kenyamanan bagi pasien terutama saat berinteraksi dengan orang lain.

Sudah saatnya kita mengambil bagian sebagai advokator bagi pasien, setidaknya pasien diberi alternatif jenis kantong yang tepat digunakan sebagai pengganti toilet yang nyaman.

1 komentar:

uni mengatakan...

InshaAllah. Saya semakin tertarik menjadi ETN