Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait dengan evidence base, diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence base nursing (EBN), dan evidence base practice (EBP). Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid. Oleh karena itu EBP merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam praktek sehingga perawat dapat meningkatkan “quality of care” terhadap pasien. Selain itu implementasi EBP juga akan menurunkan biaya perawatan yang memberi dampak positif tidak hanya bagi pasien, perawat, tapi juga bagi institusi pelayanan kesehatan. Sayangnya penggunaan bukti-bukti riset sebagai dasar dalam pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.
Ada beberapa miskonsepsi dari petugas kesehatan itu sendiri dalam mengadopsi EBP ke dalam praktek, diantaranya; “evidence untuk siapa?”, “evidence itu mahal”, dan “evidence itu hanya teori”. Griffiths et al. (2001) mengidentifikasi tiga alasan utama mengapa perawat tidak mengimplementasikan hasil penelitian ke dalam praktek; kurangnya waktu, kurangnya sumber daya, dan kesulitan dalam memahami analisa statistik.
Saat ini Meta-analysis dianggap sebagai “golden standard” yang sering digunakan sebagai landasan dalam EBP. Steed, DL., et al (2006) membagi 3 level evidence base, yaitu:
1. Evidence Level I
Meta-analysis dari multiple Randomized Kontrolled Trial (RCT) atau minimal dua RCT yang mendukung intervensi yang direkomendasikan.
2. Evidence Level II
Kurang dari Level I, namun minimal satu RCT atau minimal dua hasil signifikan di klinis atau pendapat pakar dengan review literature yang mendukung intervensi yang direkomendasikan. Selain itu bukti eksperimen yang mendukung intervensi namun belum ditunjang oleh pengalaman adekuat pada manusia.
3. Evidence Level III
Kurang dari Level II, ada data dan bukti penunjang namun lemah untuk dikategorikan sebagai meta-analysis, RCT atau multiple clinical series.
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia belum berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke dalam praktek. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar