Tampilkan postingan dengan label Diabetes. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Diabetes. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Juli 2011

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK: WOUND BED PREPARATION


Hingga tahun 1960-an, perawatan luka sangat sederhana hanya menutup dan “menyembunyikan”. Tahun 2002 Vincent Falanga memperkenalkan wound bed preparation sebagai manajemen untuk mempercepat proses penyembuhan luka dan memfasilitasi efektifitas modalitas terapeutik lainnya. 

Wound bed preparation merupakan pendekatan sistematis yang membantu mengidentifikasi dan mengkoreksi lingkungan molekuler untuk menstimulasi penyembuhan. Lebih dari itu, konsep wound bed preparation juga telah menjadi bahasa universal dalam perawatan luka diantara para praktisi dan expertise.

Implementasi konsep wound bed preparation pada luka kaki  diabetik ditekankan pada upaya untuk melakukan debridement secara radikal dan berulang, inspeksi berkala dan kontrol bakteri serta memperhatikan moisture balance untuk mencegah maserasi. Sibbald, et al (2007) merekomendasikan penambahan oksigen balance dalam konsep wound bed preparation dengan pertimbangan bahwa oksigen memiliki peran vital dalam penyembuhan luka, seperti; sumber energi metabolisme, sisntesis kolagen, neovascularisasi, dan efek antimikroba.

1.  Rekomendasi 1: Pengkajian
Pengkajian pasien secara umum sangat penting untuk mengevaluasi dan mengkoreksi penyebab kerusakan jaringan. Pengkajian hendaknya meliputi: A. penyakit sistemik dan pengobatan, B. Nutrisi, dan C. Perfusi jaringan dan oksigenisasi. Evidence Level I.

Prinsip:
Riwayat kesehatan umum termasuk riwayat pengobatan akan membantu mengidentifikasi dan mengkoreksi penyebab sistemik hambatan penyembuhan. Keberadaan penyakit primer atau penyakit sistemik serta pengobatan seperti immunosuppressive dan steroid sistemik akan mempengaruhi penyembuhan luka melalui perubahan fungsi imunitas, metabolisme, inflamasi, nutrisi, dan perfusi jaringan. Penyakit autoimun seperti rematid arthritis, vasculitis yang tidak terkontrol atau pyoderma gangrenosum, semuanya dapat menghambat proses penyembuhan sehingga membutuhkan steroid sistemik atau agen imunosuppresif sebelum penyembuhan lokal luka terjadi. Pasien yang akan menjali operasi juga mengalami hambatan penyembuhan luka seperti perokok.

2.   Rekomendasi 2.
Inisial debridement dibutuhkan untuk melepaskan jaringan necrotic, kelebihan beban bakteri, dan sel-sel mati lainnya pada jaringan. Ada beberapa tekhnik debridement, namun sharp surgical debridement lebih direkomendasikan. Evidence Level I.

Prinsip:
Jaringan nekrotik, kelebihan beban jaringan, sel-sel tua, sel-sel debris dapat menghambat penyembuhan. Metode debridement yang dipilih bergantung pada status luka, kemampuan petugas, kondisi umum pasien, dan lisensi professional.

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK; OFF LOADING

Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetic merujuk pada upaya untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading mencegah trauma lanjutan pada luka dan memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada pasien dengan neuropati sensoris. Penelitian retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya off-loading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi.

Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes (Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%.Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis.Dimana hanya 2 % dari praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya, selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya dibandingkan alat lain.

1.   Rekomendasi 1: Total Contact Casts (TCC's)
Ada berbagai metode offloading antara lain crutches (tongkat), walkers, kursi roda, diabetic boots, forefoot, dll. Namun yang paling direkomendasikan adalah Total Contact Casts (TCC). Evidence level I.

Prinsip:
Mengurangi beban tekanan pada luka diabetes diperlukan untuk memaksimalkan proses penyembuhan.

2.  Rekomendasi 2: Protective Footwear
Pasien dengan resiko amputasi sebaiknya dianjurkan untuk menggunakan sepatu khusus (Protective footwear).Evidence Level II.

Prinsip:
Insidens luka kaki diabetes dapat dikurangi dengan menggunakan sepatu khusus (Protective footwear).

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK; PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Tidak semua luka pada kaki adalah luka diabetes, untuk itu perlu menegakkan diagnosa untuk mendeterminasikan jenis luka yang adaa, apakah luka diabetik, arterial ulcer, venous ulcer, atau mixed ulcer.

Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam pengkajian dan diagnosa luka kaki diabetik, antara lain: 
  1. Pemeriksaan laboratoium, seperti; sedimentasi eritrosit dan C-reactive protein sebagai biological markers untuk proses infeksi dan inflamasi, HbA1C, profil lipid (cholesterol, HDL, LDL), prealbumin.  
  2. Pemeriksaan Neurologic seperti 10g Semmes-Weinstein monofilament. 
  3. Evaluasi vascular yang meliputi; Ankle Brachial Indexes (ABI), Toe Brachial Indexes (TBI), Skin Perfusion Indexes (SPP), dan Transcutaneous Oxygen Tension (TcPO2).
  4. Palpasi Nadi, yang meliputi; nadi femoral, nadi popliteal dan nadi pedalis.

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan Ankle Brachial Indexes (ABI) sebagai pemeriksaan kuantitatif untuk mengevaluasi status vascular. Namun karena pada pasien diabetes terjadi glycosolation atau calcification pada arteri tungkai bawah yang berakibat falsely high ankle pressure, maka pemeriksaan Toe Brachial Indexes (TBI) dapat menjadi alternatif, sayangnya pemeriksaan ini belum tersedia di  klinis dan memerlukan keahlian tersendiri. Adapun untuk pemeriksaan neuropati, 10g monofilament masih menjadi pilihan utama di klinis termasuk untuk mengidentifikasi resiko tingi terjadinya luka dan amputasi.

1.      Rekomendasi 1: Ankle Brachial Pressure Indexes
Nilai Ankle Brachial Indexes (ABI) > 1.3 memberi gambaran noncompressible arteries, nilai Toe Brachial Indexes (TOI) > 0.7 atau nilai TcPO2 > 40 mmHg mengindikasikan masih adekuatnya vascularisasi arteri. 

Evidence level I
Prinsip:          
Luka kaki diabetes dapat terjadi sebagai akibat dari insufisiensi arteri atau neuropati. Meskipun riwayat klinis dan pemeriksaan fisik dapat menjadi data pendukung adanya ischemic pada ekstrimitas bawah, namun dibutuhkan diagnose definitif.

2.      Rekomendasi 2: Monofilament Test
Keberadaan neuropati dapat ditentukan dengan menggunakan 10g Semmes–Weinstein monofilament test.  

Evidence Level II.
Prinsip:
Neuropati berdampak pada deformitas dan ulserasi pada kaki sebagai akibat abnormalnya distribusi tekanan terutama pada permukaan plantar. Neuropati saraf otonom meningkatkan resiko kerusakan kulit.

EVIDENCE BASE DALAM PERAWATAN LUKA DIABETIK; SEBUAH PENGANTAR


Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait dengan evidence base, diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence base nursing (EBN), dan evidence base practice (EBP). Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid. Oleh karena itu EBP merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam praktek sehingga perawat dapat meningkatkan “quality of care” terhadap pasien. Selain itu implementasi EBP juga akan menurunkan biaya perawatan yang memberi dampak positif tidak hanya bagi pasien, perawat, tapi juga bagi institusi pelayanan kesehatan. Sayangnya penggunaan bukti-bukti riset sebagai dasar dalam pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih berada dalam tahap pertumbuhan.

Ada beberapa miskonsepsi dari petugas kesehatan itu sendiri dalam mengadopsi EBP ke dalam praktek, diantaranya; “evidence untuk siapa?”, “evidence itu mahal”, dan “evidence itu hanya teori”. Griffiths et al. (2001) mengidentifikasi tiga alasan utama mengapa perawat tidak mengimplementasikan hasil penelitian ke dalam praktek; kurangnya waktu, kurangnya sumber daya, dan kesulitan dalam memahami analisa statistik.

Saat ini Meta-analysis dianggap sebagai “golden standard” yang sering digunakan sebagai landasan dalam EBP. Steed, DL., et al (2006) membagi 3 level evidence base, yaitu:

1.        Evidence Level I
Meta-analysis dari multiple Randomized Kontrolled Trial (RCT) atau minimal dua RCT yang mendukung intervensi yang direkomendasikan. 

2.        Evidence Level II
Kurang dari Level I, namun minimal satu RCT atau minimal dua hasil signifikan di klinis atau pendapat pakar dengan review literature yang mendukung intervensi yang direkomendasikan. Selain itu bukti eksperimen yang mendukung intervensi namun belum ditunjang oleh pengalaman adekuat pada manusia.

3.        Evidence Level III
Kurang dari Level II, ada data dan bukti penunjang namun lemah untuk dikategorikan sebagai meta-analysis, RCT atau multiple clinical series.


Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia belum berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke dalam praktek. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya untuk kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan kertas semata.

Sabtu, 11 Desember 2010

TIPS PERAWATAN KAKI BAGI PENDERITA DIABETES


Di Dunia diperkirakan setiap 20 detik terdiagnosa satu penderita diabetes mellitus dan setiap 30 detik satu kaki diabetic diamputasi. Padahal edukasi bagi penderita diabetes telah terbukti mampu menekan angka komplikasi termasuk insidens amputasi.

Sayangnya di Indonesia informasi mengenai edukasi bagi penderita diabetes masih sangat terbatas seiring dengan masih terbatasnya foot care di Indonesia. Postingan ini mudah-mudah bisa sedikit membantu.

Perawatan kaki bagi penderita diabetes tidak memerlukan biaya yang mahal, waktu yang lama, dan keterampilan yang tinggi.

Menurut Keryln Carville (1998) perawatan kaki pada penderita diabetes dapat dilakukan dengan:

1. Berhenti merokok, sebab merokok dapat merusak sistem sirkulasi.
2. Lakukan inspeksi terhadap kaki setiap hari, gunakan cermin kecil untuk membantu melihat daerah yang sulit. Manakala penderita memiliki keterbatasan gerak atau gangguan penglihatan, bisa dengan bantuan anggota keluarga.
3.  Laporkan bila ada perubahan suhu atau elastisitas kulit.
4. Cuci kaki dengan air hangat (hati-hati dengan suhu ekstrim, terutama penderita dengan neuropati) dan keringkan dengan kainyang lembut. Jangan rendam kaki dengan sabun.
5. Gunakan pelembab untuk mempertahankan kelembaban kaki, terutama derah sela-sela jari.
6.  Hati-hati saat memotong kuku, sebaiknya gunakan kikir. Apabila terdapat masalah pada kuku atau callus sebaiknya dikonsultasikan ke ahlinya,misalnya podiatrist.
7. Jangan keluar telanjang baju, eh maaf…telanjang kaki, utamanya saat berjalan di aspal, kecuali kalau anda mau tes ilmu dari si mbah…daijobu….
8. Hindari kontak langsung dengan barang apapun yang bisa menimbulkan panas atau dingin yang ekstrim.
9.  Jangan gunakan agen-agen kimia apalagi agen FBI. Sangat tidak direkomendasikan untuk menggunakan corn plasters (corn plaster adalah plester yang digunakan untuk melunakkan jaringan yang keras pada kaki).
10.Periksa sepatu terhadap adanya benda-benda asing, seperti; pasir, kerikil, jarum atau kodok begitu juga dengan kaos kaki.
11. Sebaiknya gunakan sepatu yang sesuai dengan tekstur kaki anda. Anda bisa memulai dengan membuat pola kaki anda diatas kertas, gunting pola tersebut, masukkan ke dalam sepatu. Manakala pole tersebut terlipat, berarti sepatu tersebut tidak sesuai dengan anatomi kaki anda.


Selain itu senam kaki juga dapat dilakukan untuk meningkatkan sirkulasi, mobilitas, dan kekuatan kaki penderita diabetes. Senam ini sangat sederhana, cukup sediakan koran bekas, dalam posisi duduk buat kertas koran menjadi sebuah bola dengan menggunakan kedua telapak kaki anda. Variasi lain, bisa dengan mencabik-cabik kertas koran menjadi serpihan-serpihan yang kecil-kecil.

Preventive better than cure, ayo stop amputasi kaki diabetes sekarang juga!!!