Tampilkan postingan dengan label decubitus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label decubitus. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Juni 2011

PERAWATAN LUKA DECUBITUS; TIPS MEMILIH BALUTAN

Decubitus bukan hanya persoalan ‘lubang’ pada tubuh pasien tapi merupakan issu yang sangat sensitive karena memberikan gambaran bagaimana institusi kesehatan memberikan pelayanan dan bagaimana pasien menerima pelayanan tersebut. Keberadaan decubitus (non avoidable) pada unit pelayanan bisa menjadi gambaran kualitas asuhan keperawatan di unit tersebut. Saat ini ratusan hingga ribuan jenis dressing tersedia, oleh karena itu dibutuhkan keterampilan dan kemampuan perawat dalam memilih jenis dressing berdasarkan kebutuhan luka dan kemampuan pasien. Pemilihan dan penggunaan dressing yang tepat akan memfasiltiasi proses penyembuhan. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan dressing antara lain (Whitney., et al 2006):
  • Faktor luka (infeksi, nekrosis). 
  • Luas, kedalaman dan keberadaan undermining atau tunneling. 
  • Lokasi. 
  • Jenis jaringan dasar luka. 
  • Eksudat dan drainase luka. 
  • Kondisi tepi luka. 
  • Tujuan perawatan. 
  • Kebutuhan pasien (kontrol nyeri, kontrol bau). 
  • Biaya. 
  • Ketersediaan. 
  • Kemudahan dalam penggunaan.
Kondisi luka harus dimonitor setiap penggantian dressing dan dikaji secara berkala untuk menentukan apakah jenis dressing diganti atau dipertahankan. Hydrocoloid direkomendasikan untuk dekubitus kategori II dan III dengan kedalaman minimal (NPUAP/EPUAP, 2009). Hydrocoloid juga terbukti jauh lebih efektif dibandingkan kasa dalam hal penurunan luas luka (Heyneman, Beele, Vanderwee, and Defloor (2008) dan mempercepat laju penyembuhan bila dibandingkan dengan kasa NaCl (Bouza, Saz, Munoz, and Amate., 2005). Payne, et. al (2009) menemukan bahwa penggunaan foam dressing pada decubitus kategori II lebih murah cost efektif dan frekuensi penggantian balutan menjadi berkurang bila dibandingkan dengan kasa NaCl.Dibutuhkan keterampilan perawat dalam mengambil keputusan klinis dalam memilih balutan untuk perawatan luka decubitus. Status luka dan masalah pada luka seperti eksudat, nyeri, perdarahan, kondisi tepi luka merupakan faktor yang perlu diperhatikan selain itu ketersediaan dan daya beli pasien jangan diabaikan. 


Bagaimanapun juga dalam perawatan luka tidak ada satupun jenis balutan yang superior satus ama lain, yang paling penting adalah keterampilan dan kemampuan perawat dalam memilih balutan berdasarkan masalah dan kebutuhan luka termasuk mempertimbangkan daya beli pasien.

PERAWATAN LUKA DECUBITUS: TEKHNIK DEBRIDEMENT


Dalam perawatan luka decubitus ada beberapa tekhnik yang bisa digunakan, salah satunya adalah tekhnik debridement. Tekhnik debridement dapat mempercepat preparasi dasar luka/wound bed preparation.

Ada beberapa metode debridement, antara lain sharp debridement, surgical debridement, enzymatic debridement, dan autolytic debridement. Namun hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menunjukkan tekhnik debridement yang paling optimal dalam perawatan decubitus (Whitney., et al 2006). Sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mendeterminasikan efektifitas diantara beberapa metode debridement dalam melepaskan jaringan necrotic (Bolton, 2006).


Pada dasarnya tujuan debridement adalah untuk melepaskan jaringan nekrotik, meminimalkan koloni bakteri, dan sel-sel debris lainnya. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan tekhnik debridement, antara lain; ada atau tidaknya infeksi, jumlah jaringan nekrotik, vascularisasi luka, toleransi terhadap nyeri, setting, dan ketersediaan dukungan terhadap metode debridement itu sendiri (WOCN, 2005).



Surgical dan sharp debridement dilakukan dengan menggunakan instrument (gunting, scalpel, atau forcep). Surgical debridement dapat dilakukan untuk melepaskan undermining, tunneling, dan jaringan nekrotik yang luas bergantung pada tujuan perawatan individu (NPUAP/EPUAP, 2009). Keuntungan tekhnik ini sangat cepat dan efektif melepaskan jaringan necrotic yang luas. Namum perlu diingat bahwa tekhnik ini menyebabkan luas area decubitus bertambah.


Sharp debridement harus dilakukan dengan hati-hati pada individu yang mengalami penurunan imunitas, penggunaan anticoagulants, atau penyakit lain yang meningkatkan resiko perdarahan (NPUAP/EPUAP, 2009).


Autolytic debridement dilakukan dengan menggunakan balutan yang menciptakan suasana lembab. Balutan tersebut memungkinkan cairan natural luka dan enzim-enzim endogen melunakkan dan mengencerkan slough sehingga jaringan nekrotik dapat terlepas dari dasar luka. Apabila proses autolisytic debridement tidak tercapai dalam 1-2 minggu maka perlu dipertimbangkan untuk menggunakan tekhnik debridement yang lain. Autolytic debridement tidak direkomendasikan pada decubitus yang terinfeksi atau yang sangat dalam (Whitney., et al 2006).

PERAWATAN LUKA DECUBITUS; TIPS MANAJEMEN INFEKSI

Infeksi merupakan salah satu faktor tersering yang menghambat proses penyembuhan luka. Infeksi diawali oleh kontaminasi dan berlanjut pada kolonisasi mikroorganisme pada dasar luka serta berakhir pada infeksi lokal hingga sistemik. Infeksi seringkali terjadi pada decubitus kategori III dan IV, untuk itu dibutuhkan pendekatan tersendiri dalam mengatasi status infeksi luka agar tidak berkembang menjadi sistemik.

Untuk luka decubitus yang dalam dua minggu tidak mengalami kemajuan dalam proses penyembuhan atau konsistensi eksudatnya tetap atau semakin purulent setelah dirawat, maka pertimbangkan untuk menggunakan antibiotic topical (WOCN, 2003; Folkedahl & Frantz, 2002). Namun manakala dampak kolonisasi bakteri bisa telah terkontrol, maka hentikan penggunaan antibiotic topical (Whitney., et al 2006).

Silver dressing dan madu dapat menjadi pilihan untuk decubitus yang terinfeksi oleh berbagai mikroorganisme, sebab kedua jenis balutan tersebut memiliki kemampuan broad spectrum (NPUAP/EPUAP, 2009; AMDA, 2008; Cutting, 2007). Lo, Change, Hu, Hayter, and Change (2009) melalukan review sistematis dan meta analisis terhadap efikasi penggunaan silver dressing dalam manajemen luka kronis. Mereka menemukan bahwa silver dressing secara signifikan mempercepat proses penyembuhan luka, mengurangi bau, menurunkan eksudat, dan memiliki masa pakai yang lebih lama dibandingkan balutan luka yang lain. 

Gunes and Eser (2007) mengevaluasi efektifitas penggunaan madu terhadap proses penyembuhan decubitus dan menemukan bahwa 15 pasien yang dirawat dengan madu memiliki skor PUSH yang lebih baik dibandingkan dengan 11 pasien yang dirawat dengan ethoxydiaminoacridine plus nitrofurazone dressing.

Penggunaan antibiotic sistemik dibenarkan hanya bila terjadi bakteremia, sepsis, perluasan selulits, atau osteomyelitis (Sibbald & Cameron, 2001). Perlu diketahui bahwa penggunaan antibiotic sistemik tidak dapat mencapai jaringan yang ischemic atau jaringan granulasi, sehingga direkomendasikan bila disertai dengan penggunaan antibiotic topical (AMDA, 2008; Keast, 2007; EWMA, 2006; Chao, 2004; EPUAP, 1998; Bergstrom, et al., 1994).

Makassar, 30 Juni 2011

PERAWATAN LUKA DECUBITUS: TEKHNIK PENCUCIAN LUKA

Pencucian luka merupakan tahapan yang penting dalam proses perawatan luka. Pencucian luka yang adekuat dapat meminimalkan kolonisasi mikroorganisme, melepaskan debris dari dsaar luka dan meminimalkan serta meminimalkan trauma dari luka. Pencucian luka dan tepi luka sebaiknya dilakukan setiap pergantian balutan. Belum ada penelitian yang spesifik mengenai jenis cairan dan tekhnik pencucian luka yang paling efektif untuk luka decubitus (Moore & Cowman, 2008). Namun setidaknya jenis cairan yang digunakan harus bersifat netral, tidak mengiritasi dan tidak toksik terhadap jaringan (Whitney., et al 2006).

Air biasa dapat digunakan sebagai cairan pencuci luka, seperti; air kran, air suling, air minum kemasan dan normal saline (Fernandez, Griffiths, & Ussia, 2007; Joanna Briggs Institute, 2003). Khusus untuk air kran dapat digunakan sebagai alternative pencuci luka selama berasal dari sumber yang bersih dan hygiene (Whitney., et al 2006), adapun hydrogen peroxide, hypochlorite solution, asam asetat, chlorhexamide, povidone iodine, dan cetrimide tidak tepat digunakan sebagai cairan pencuci luka karena sifatnya yang toksik terhadap jaringan granulasi yang sehat (Whitney., et al 2006).

Jangan sekali-kali menggunakan cairan pencuci yang dikhususkan untuk kulit (yang masih utuh) dan pembersih yang didesain sebagai pembersih feses, kedua produk tersebut dapt bersifat sangat toksik terhadap jaringan dsar luka. Begitu juga dengan kebiasaan menambahkan antiseptic ke cairan pencuci luka akan mingkatkan toksisitas pencuci luka (Whitney., et al 2006). Belum ada penelitian yang membuktikan keuntungan menambahkan antiseptic ke cairan pencuci luka (Rodeheaver & Ratliff, 2007).

Konya, Sanada, Sugama, Okuwa and Kitayama (2005a) mengevaluasi efek pencucian tepi luka decubitus kategori III dan IV dan menemukan bahwa jumlah bakteri pada tepi luka dan dasar luka menurun secara signifikan.





Bagaimana tekhnik pencucian luka dilakukan?
Ada beberapa tekhnik pencucian luka, seperti menggosok (swabbing), mengguyur (showering), dan merendam (bathing), namun tidak ada perbedaan yang signifikan diantara tekhnik tersebut (Moore & Cowman, 2005). Menggunakan alat bantu seperti kain atau spons dapat meningkatkan efikasi pencucian luka, Meskipun demikian haru sangat hati-hati dalam penggunaannya untuk meminimalkan trauma terhadap dasar luka (Whitney., et al 2006). Pencucian luka dengan menggunakan spons yang kasar secara signifikan meningkatkan resiko infeksi bila dibandingkan dengan menggunakan spons yang lembut (Rodeheaver & Ratliff, 2007; Rodeheaver, Smith, Thacker, Edgerton, & Edlich, 1975).




Bagaimana dengan tekhnik irigasinya?
Irigasi luka dengan tekanan tinggi dibutuhkan bila terdapat slough atau jaringan nekrotik. Irigasi sebaiknya cukup adekuat untuk membersihkan permukaan decubitus tanpat menimbulkan trauma terhadap dasar luka. Tekanan yang ideal adalah sebesar 4-15 pounds per inci (psi) (Fernandez et al., 2007; JBI, 2003; Bergstrom et al., 1994), yang bisa didapat dengan menggunakan spoit 30 ml dengan jarum 18 G (Whitney., et al 2006). Tekanan dibawah 4 psi tidak efektif membersihkan luka dan tekanan diatas 15 psi dapat menyebabkan trauma jaringan bahkan dapat mendorong invasi bakteri ke dalam jaringan (Whitney., et al 2006).

Selasa, 26 April 2011

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DECUBITUS: INTERFACE PRESSURE MEASUREMENT

Pressure hingga saat ini masih dipercaya sebagai penyebab utama decubitus, darisini pula kita mengenal istilah pressure ulcer yang kadang menyebabkab kita mengabaikan faktor lain. Pressure didefinisikan sebagai tekanan yang bekerja tegak lurus pada permukaan, dalam hal ini antara tubuh pasien dan permukaan tempat tidur. Biasanya tekanan yang bekerja dinyatakan dalam satuan Newton.

Besarnya tekanan eksternal yang bekerja dapat menyebabkan sumbatan pembuluh darah atau dikenal sebagai capillary closing pressure. Nilai kritis yang selama ini digunakan adalah 32 mmHg (landis, 1932). Namun Landis kemudian mengoreksi nilai ini pada angka 40 mmHg sebagai cut off point terjadinya sumbatan kapiler.

Hingga saat ini interface pressure masih menjadi alat diagnostik pilihan dalam mengidentifikasi resiko decubitus disamping penggunaan pengkajian resiko seperti Braden Scale, Norton Scale, dan SS Scale. Penggunaan interface pressure bersifat non invasif, mudah, akurat, dan tidak membutuhkan waktu yang lama.

Di Jepang, penggunaan interface pressure dikembangkan oleh Prof. Sugama dari Kanazawa University. Pada awalnya sensor ini hanya terdiri atas tiga sensor yang kemudian dikembangkan menjadi lima sensor. 

Meskipun demikian penggunaan interface pressure masih membutuhkan pengembangan lebih lanjut, hal ini mengingat bahwa interface pressure hanya mengukur tekanan eksternal sedangkan pada saat yang sama tekanan internal (didalam jaringan) bisa jadi jauh lebih tinggi karena adanya efek pressure gradient.

Jumat, 27 Agustus 2010

BETULKAH PRESSURE UCLER KELALAIAN PERAWAT?

Catatan ringan dari 12th Japan Pressure Ulcer Society Congress
 Position Statements
Tanggal 20-21 Agustus 2010, dilaksanakan 12th Japan Pressure Ulcer Society di Nippon Convention Centre, Makuhari-Chiba. Kongres ini menghadirkan dan dihadiri oleh ribuan perawat, dokter, dan profesi lain termasuk company duduk bersama membicarakan satu masalah “decubitus”. Quality of Life diangkat sebagai tema sentral, mengingat kompleksitas permasalah seputar decubitus seperti nyeri, infeksi, odour, biaya, yang berdampak pada quality of life yang akhirnya memperburuk quality of care.

Tsokos, M. (2000) menegaskan bahwa prevalensi decubitus dapat menjadi parameter yang baik terhadap kualitas perawatan dan pengobatan, sehingga dapat diasumsikan bahwa insidens decubitus berawal dari buruknya perawatan dan pengobatan yang diberikan. Namun apakah decubitus dapat digunakan sebagai indicator objektif kualitas perawatan oleh sebagian profesi masih menjdi polemik. 

Yang lebih bisa diterima adalah decubitus merupakan akibat dari buruknya system pelayanan kesehatan (Courney Lyder,2005). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar decubitus bisa dicegah melalui identifikasi faktor resiko secara sistematis, pengkajian integument yang komprehensif, penggunaan support surface yang efektif, pendidikan bagi pasien, keluarga termasuk staff. Dan program pencegahan ini melibatkan semua tenaga kesehatan secara multidisipliner

Saat ini telah disepakati sebuah consensus dokumen bahwa untuk membedakan apakah decubitus adalah kelalaian perawat atau bukan maka didasarkan pada fakta apakah decubitus tersebut avoidable atau unavoidable (Doroty Doughty, 2010). Avoidable secara terminology diartikan sebagai decubitus yang dapat dihindari dan unavoidable merupakan decubitus yang sama sekali tidak bisa dihindari. Untuk konteks avoidable, perawat digugat melakukan nursing negligence.

Definitions of Avoidable and Unavoidable Pressure Ulcers
Wound Ostomy and Continence Nurses Society (WOCN) mengeluarkan consensus document mengenai avoidable dan unavoidable pressure ulcer. Dalam consensus document ini WOCN mengadopsi pengertian avoidable dan unavoidable pressure ulcer dari Centers for Medicare and Medicai (2004) sebagai berikut:

Avoidable Pressure Ulcer: “Avoidable” means that the resident developed a pressure ulcer and that the facility did not do one or more of the following: evaluate the resident’s clinical condition and pressure ulcer risk factors; define and implement interventions that are consistent with resident needs, resident goals, and recognized standards of practice; monitor and evaluate the impact of the interventions; or revise the interventions as appropriate.

Unavoidable Pressure Ulcer: “Unavoidable” means that the resident developed a pressure ulcer even though the facility had evaluated the resident’s clinical condition and pressure ulcer risk factors; defined and implemented interventions that are consistent with resident needs, goals, and recognized standards of practice;
monitored and evaluated the impact of the interventions; and revised the approaches as appropriate.

Avoidable decubitus adalah decubitus yang terjadi akibat fasiltas pelayanan kesehatan tidak melaksanakan salah satu dari berikut; mengevaluasi kondisi klinis pasien dan atau pengkajian resiko, memperhatikan kebutuhan pasien secara konsisten, mengimplementasikan standar praktek (seperti AHCPR, AMDA, WOCN, dan literature terkini), memonitor dan mengevaluasi intervensi, merevisi intervensi secara tepat. Adapun  Unavoidable decubitus terjadi manakala point-point terseut diatas telah dijalankan secara tepat dan berkesinambungan.

Pengertian ini masih sangat subjektif dalam membedakan avoidable dan unavoidable decubitus. Untuk itu Jefrey. M.Levine (2010) melakukan penelitian retrospective terhadap 20 pasien yang mengalami decubitus (meskipun telah diterapkan program preventif) dan menemukan 10 masalah yang dapat dijadikan indicator objektif unavoidable pressure ulcer; Hypoalbuminemia (Alb < 3.0), Respiratory failure with intubation, Severe anemia (Hb < 10), Hypoxemia, Sedation, Hypotension, Sepsis, Malignancy, Diabetes mellitus, Renal failure (acute or chronic). Doroty Douhgty (2010) menambahkan bahwa unavoidable decubitus bisa karena pasien atau keluarga menolak intervensi, misalnya perubahan posisi, penggunaan support surface, dan lainnya.

Namun di clinical setting permasalahan ini tidak sesederhana pengertiannya. Bila kita merujuk kembali pada konteks pencegahan maka ini merupakan sebuah tanggung jawab bersama tidak hanya satu profesi tapi juga multidisipliner termasuk decision maker apakah menyapkan policy dan protocol pencegahan yang adekuat. Apakah perawat yang dibekali pendidikan dan pelatihan seputar modalitas pencegahan, apakah perawat yang bertugas diberikan wewenang dalam pengambilam keputusan klinis. Di Indonesia, umummnya perawat hanya diberikan tanggung jawab tapi tanpa disertai kewenangan dan kebebasan dalam mengambil keputusan klinis sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya.

Jumat, 06 Agustus 2010

KONDISI TEMPAT TIDUR PASIEN DI INDONESIA; Kebutuhan pasien atau kepentingan rumah sakit

Saldy Yusuf, S,Kep.NS.ETN
Clinical Nurising Departement
Kanazawa University
      
       Di Indonesia kita lebih mengenal istilah kasur anti decubitus dibanding istilah support surface. Menurut hemat saya penggunaan istilah kasur anti decubitus sangat tidak tepat, karena pada kenyataannya tidak ada kasur anti decubitus yang benar-benar dapat mencegah decubitus. Beberapa penelitian menunjukkan efektifitas kasur anti decubitus dalam mencegah decubitus tidak lebih 50 %.
National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP, 2007) mendefinisikan support surface sebagai seperangkat alat khusus yang digunakan untuk mendistribusikan tekanan (tissue loading), micro climate dan atau fungsi terapeutik lainnya. (NPUAP, 2007)   
Support surface pada dasarnya ada 3 jenis; Foam Matress, Air or Gel Filled, dan Air Fluidised. Prinsip utamanya adalah mendistribusikan tekanan (pressure) agar tidak menumpu pada satu titik. Namun perlu dipahami bahwa walaupun pada pasien telah terpasang kasur anti decubitus tidak berarti perubahan posisi (mika-miki) dihentikan.
Penggunaan support surface di rumah sakit di Indonesia masih sangat terbatas itupun bukan dalam konteks pencegahan decubitus, tapi digunakan setelah adanya luka decubitus. Sementara pihak rumah sakit hanya menggunakan tempat tidur yang umumnya berbahan plastik. Penggunaan plastic cover pada matras tempat tidur memang menguntungkan pihak rumah sakit karena bisa “melindungi” kasur dari rembesan urine, feces, atau eksudat pasien. Namun disisi lain juga “mensupport” terjadinya decubitus, kenapa bisa???
Lapisan plastik pada tempat tidur bersifat non absorben sehingga meningkatkan Transepidermal Water Loss (TEWL) yang berdampak langsung pada peningkatan kelembaban kulit (Skin moisture) dan berakhir pada peningkatan Stratum Corneum pH (ss pH). Kondisi alkali pada permukaan kulit sangat beresiko terhadap pertumbuhan mikroflora yang abnormal.
Selain itu kelebihan kelembaban pada kulit pasien (excessive moisture) akan berujung pada kerusakan kulit (stratum corneum), maserasi, dan kerusakan fungsi skin barier serta meningkatnya resiko decubitus. Peningkatan kelembaban juga akan berkonstribusi pada peningkatan coefficient friction sehingga akan meningkatkan resiko decubitus.
Sayangnya kebanggaan pemerintah hanya pada megahnya gedung rumah sakit, banyaknya dokter spesialis, canggihnya peralatan medis, namun hakikat perawatan pasien terabaikan. Tender pengadaan peralatan medis hanya berorientasi proyek dan mengabaikan sisi fungsional sebuah alat. Read more:

Senin, 26 Juli 2010

BETULKAH PRESSURE ULCER DISEBABKAN OLEH PRESSURE?

Saldy Yusuf, S.Kep,Ns.ETN
Clinical Nursing Departement
Kanazawa University-Japan

Pressure ucer merupakan masalah global, tidak hanya di negara berkembang tapi juga di negara-negara maju.Masalah pressure ulcer bukan hanya tingginya angka insidens dan prevalensi tapi juga cost yang dikeluarkan dalam penatalaksanaannya. Di Belanda manajemen pressure ulcer menyerap $ 362 juta sampai $ 2.8 milya atau 1% dari dana kesehatan nasional. Di Inggris Perawatan pressure ulcer menyerap 180 juta-321 juta poundsterling atau 0.4-0.8 % dari dana kesehatan nasional. Bagaimana dengan Indonesia, no body knows and goverment doesnt care....

Istilah Pressure ulcer (atau luka tekan) telah menjebak kita pada pemahaman bahwa pressure ulcer merupakan penyebab pressure ulcer. Tekanan pada daerah tonjolan tulang (bony prominiences) sebesar 32 mmHg diyakini menyebabkan oclusi pembuluh darah setempat sehingga menyebabkan ischemic jaringan yang berampak pada kerusakan jaringan irreversibel. Teori ini dikenal sebagai teori ischemic. Teori ini sangat populer sehingga riset pressure ulcer umumnya berpijak pada teori ini begitu juga manajemen pencegahan decubitus dengan penggunaan support surface (kasur anti decubitus).

Akibatnya, perhatian terhadap kemungkinan penyebab lain terabaikan. Kita lupa bahwa  kulit dapat mengalami kegagalan termasuk jaringan bawahnya (dermis, hypodermis) sebagai organ secara utuh. Sebagai organ terluar dari tubuh, kulitlah lini terdepan tubuh yang berhadapan dengan perubahan lingkungan luar dan dalam.

Perubahan internal tubuh, seperti demam, gangguan metabolik, penyakit cardiovascular, defisit neurologi, termasuk proses degeneratif dapat bermanifestasi pada perubaan biofisiologis dan biokimiawi kulit. Begitu juga dengan perubahan lingkungan eksternal, perubahan suhu ruangan, kenaikan kelembaban kamar, air flow tentunya akan mempengaruhi fisiologi kulit.

Satu contoh, peningkatan kelembaban kulit yang berasal dari incontinence (fecal atau uri), eksudat luka, drainage fistula dapat meningkatkan pH kulit menjadi lebih alkali. Kondisi ini mengakibatkan kerusakan stratum corneum dan memungkinkan lebih berkembangnya mikroflora patogen yang berujung pada perkembangan luka kronis termasuk luka decubitus.

Sebaliknya, kalau memang pressure sebagai penyebab utama pressure ulcer, bagaimana teori ini bisa menjawab fakta deep tissue injury, atau kalau memang peningkatan tekanan diklaim sebagai penyebab pressure ulcer, mengapa penggunaan support surface (kasur anti decubitus) yang mahal sekalipun tidak mampu mencegah pressure ulcer.

Dibutuhkan investigasi mendalam terhadap etiologi pressure ulcer bukan sekedar mechanical loading factor, tapi juga aspek biofisiologi, biokimiawi, macro dan microenvironment. Kegagalan dalam mendefinisikan penyebab, membuat manajemen pencegahan dan perawatan menjadi sia-sia....

Sabtu, 10 Juli 2010

KONSEP DASAR LUKA DECUBITUS

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN
Clinical Nursing Departement
Kanazawa-University


A. PENDAHULUAN
Terminology luka decubitus bermacam-macam, umumnya literature menggunakan istilah pressure ulcer disamping penggunaan istilah bed sore. Penggunaan istilah pressure ulcer didasarkan pada pemahaman bahwa luka decubitus disebabkan oleh penekanan pada daerah tonjolan tulang dalam jangka waktu yang lama.  Dalam artikel ini, penulis menggunakan istilah decubitus agar mudah dipahami oleh masyarakan umum dibanding penggunaan istilah pressure ulcer.

B. INSIDENS DAN PREVALENSI
Hasil penelitian menunjukkan insidens decubitus di Indonesia  sebesar 33.3 % (Suriadi, 2006) angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insidens decubitus di ASEAN yang hanya berkisar 2.1-31.3 % (Sugama et al., 1992; Seongsook et al., 2004; Kwong et al., 2005).1  Namun angka insidens dan prevalensi decubitus masih simpang siur. Hal ini disebabkan perbedaan metodelogi, sample, clinical setting, dan variable lainnya.

C. PENGERTIAN

Pressure ulcer merupakan injury terlokalisir pada kulit dan/atau jaringan yang ada di bawahnya pada daerah tonjolan tulang, sebagai akibat dari pressure, atau combinasi pressure dan shear. Sejumlah factor kontribusi juga berkaitan dengan pressure ulcer. Signifikansi dari factor-factor tersebut perlu penjelasan lebih lanjut.2 Yang perlu diperhatikan dari definisi tersebut, adanya perubahan pemahaman konteks penyebab decubitus, dimana penyebab decubitus tidak lagi dipandang semata-mata karena adanya tekanan (Pressure) tapi juga karena adanya gesekan (shear). Lebih lanjut, definisi EPUAP-NPUAP juga telah ‘membuka diri’ bahwa masih ada beberapa factor yang berkontribusi dalam penyebab decubitus yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.read more 

Artikel Terkait:



Sabtu, 01 Mei 2010

EWMA Positioning Paper: WOUND BED PREPARATION

The positioning paper is an independently authored paper by Vincent Falanga, Peter Vowden and Christine Moffat on wound bed preparation, written for the European Wound Management Association (EWMA) and is available in five languages.

The paper starts by taking the work of the international advisory board on wound bed preparation as a starting point and examines how the TIME^ components that underpin wound bed preparation can offer clinicians a comprehensive approach,where basic science can be applied to develop strategies that maximise the potential for wound healing.

It's an important attempt to explain how TIME can be formed into an overall treatment strategy for all wounds, and presents a significant stage in the advancement of wound bed preparation. For us at Smith & Nephew this begins a new phase in setting out the practical uses of wound bed preparation at the bedside. As the authors wrote in their introduction, "Wound bed preparation demonstrates the potential opportunity to improve the lives of patients with intractable wounds and to empower health professionals at all levels to effectively manage complex non-healing."

This paper brings wound bed preparation and all that it has to offer deeper into the wound care community. PDF's of this paper will be placed on the Global Wound Academy in the near future.
A PDF version of the paper is available below in English, French, German, Spanish and Italian. If you require a hard copy of the paper please contact your local Smith & Nephew office.download now

Senin, 05 April 2010

JOURNAL REVIEW; Cost Of Healing Pressure Ulcer

Xakellis, George C.; Frantz, Rita

Abstract

The reported costs of treating pressure ulcers have varied widely from study to study. Previous studies have focused on single health care settings and computed only the costs occurring while the patient was a resident in that facility. The purpose of this study was to assess the cost of managing pressure ulcers from their initial occurrence in long-term care through their natural history, including hospital treatment ot complications. The 30 patients in this year-long study developed 45 ulcers. The mean length ot treatment for an ulcer was 116 days (SD = 127). The mean cost ot treatment, including long-term care and hospital costs, was $2.731 per ulcer (SD = 12.184); excluding hospital costs, the mean cost of treatment was $489 per ulcer (SD = 629). The mean cost of treatment per patient was $4,647 (SD = 15,102); excluding hospital costs, the mean treatment cost was $1,284 per patient (SD = 1,380). Eighty percent of the total cost of pressure ulcer treatment was generated by the 4% of patients who required hospitalization lor their pressure ulcers. In the absence of complications, pressure ulcers can be treated successfully and cost-effectively in long-term care.read more

JOURNAL REVIEW; Cost Of Pressure Ulcer Prevention in Long Term care

John Deere Health Care, Moline, Illinois 61265, USA.
OBJECTIVE: To describe the total cost of pressure ulcer prevention, component costs of each intervention, and the relationship of costs to subjects' risk level. DESIGN: 3-month cohort trial. SETTING: A 600-bed, state-supported, long-term care facility. PATIENTS: A total of 539 war veterans, 83% of whom were male; mean age was 73 years. MAIN OUTCOME MEASURES: Cost to facility for using each of four preventive interventions: turning, pressure-reducing mattresses, chair cushions, miscellaneous preventive devices. RESULTS: Sixty-eight percent of subjects received a preventive intervention. Total 3-month facility cost of prevention was $132,114, and 97% of the cost was consumed by 30% of the subjects. Turning was the most expensive component, accounting for $99,567. The daily cost of turning for subjects who received it was $8.83 +/- 1.66. Cost increased with subject risk level. Low cost devices were instituted for lower risk subjects, whereas high cost interventions (turning) were reserved for the highest risk subjects. CONCLUSIONS: This long-term care facility expended substantial resources on prevention, and most resources (97%) were expended on less than half (30%) of subjects. Turning was, by far, the most expensive intervention, and the nursing staff reserved it for highest risk subjects. Strategies that substitute moderately priced mattresses for frequent turning may decrease the cost of prevention, as long as mattress cost is less than the daily turning costs it replaces. Future research to define the optimum combinations of preventive interventions for patients of various risk levels is needed. read more

Kamis, 01 April 2010

PARTAI DECUBITUS INDONESIA

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN

Decubitus merupakan masalah global sebab tidak mengenal negara berkembang atau negara maju, benua Asia, Eropa, atau Amerika, tidak mengenal jenis kelamin, tidak hanya pada usia lanjut, tidak selamanya terjadi di rumah sakit, pokoknya siapapun, dimanapun, kapanpun bisa terkena decubitus, termasuk anda yang membaca postingan ini bila tetap online selama 8 jam (tanpa mika-miki) bisa kena decubitus derajat I, mau coba? Hehehe….

Decubitus menempati posisi sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama, dengan insidens antara < 1% - 38 % di rumah sakit dan 2.2% - 23.9% di unit long-term care. 1 Di unit perawatan akut rata-rata lama rawat dapat meningkat 4-17 hari .

Bagi beberapa pasien, decubitus menyebabkan peningkatan nyeri, penurunan kualitas hidup, infeksi, dan peningkatan morbiditas bahkan mortalitas. Decubitus dapat membuat frustasi perawat dan pasien, dan yang terpenting adalah Decubitus akan meningkatkan biaya perawatan.

Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia tentang cost atau biaya yang dikeluarkan dalam perawatan luka decubitus, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung(Saldy, 2009). Sebagai gambaran di Belanda biaya perawatan decubitus $ 362 million- $ 2,8 billion dan potensial menyerap 1 % dari total biaya kesehatan nasional (Severens, et al 2002) sedangkan Di UK biaya perawatan decubitus mencapai 1.4 billion-2.1 billion per tahun dan menyerap 4 % dari total biaya kesehatan nasional (Bennet, et all 2004).

Ironisnya, ternyata 95 % decubitus dapat dicegah2, literature lain bahkan menunjukkan pencegahan yang baik dapat menurunkan kerusakan integritas kulit termasuk luka decubitus yang pada akhirnya akan memberikan kenyamanan emosional bagi pasien, keluarga, dan pemberi asuhan. Perawatan kulit yang baik akan memberikan dampak positif pada pasien, termasuk moral, harga diri, dan kemungkinan terjadinya nyeri dan infeksi. Keluarga juga harus dilibatkan dalam perencanaan asuhan keperawatan sehingga merasa turut bertanggung jawab dalam setiap program edukasi yang diberikan.

Sayangnya di Indonesia masalah decubitus kalah populer dengan masalah Bank Century, Testimonial Susno, dan Manusia 25 Milyar Gayus Tambunan, apalagi Julia Perez yang mau jadi Bupati Pacitan...mungkin nanti setelah ada yang bikin Partai Decubitus Indonesia (PDI) Perjuangan, barulah masalah decubitus mendapat perhatian....

Referensi:
1. Bethell, E. (2002). Incidence and prevalence data: can we ensure greater accuracy? Journal of Wound Care. 11(8): 285 - 288.
2. Waterlow, J. (1988). Prevention is cheaper than cure. Nursing Times, 84(25): 69-70.

Rabu, 13 Januari 2010

PRINSIP PERAWATAN LUKA DECUBITUS, mengapa Ash Habul Kahfi Tidak Decubitus

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns,ETN

Masalah Pressure ulcer atau lebih dikenal dengan Luka Decubitus merupakan masalah global. Kejadian decubitus tidak hanya di negara-negara maju tapi juga di negara-negara berkembang. Lebih lanjut decubitus tidak hanya terjadi di unit perawatan yang ada di rumah sakit, tapi juga di home care setting, termasuk di panti jompo.

Pressure atau tekanan merupakan penyebab utama terjadinya luka decubitus. Adanya tekanan, terutama pada daerah penonjolan tulang (bony prominences)dengan intensitas dan durasi yang lama akan menyebabkan disrupsi aliran darah.

Tekanan pada pembuluh darah sebesar lebih dari 32 mmHg diyakini akan menyebabkan terhentinya aliran darah setempat.Apabila ini berlangsung lama, hal ini dapat menyebabkan insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel.

Oleh karena itu salah satu prinsip pencegahan luka decubitus sekaligus prinsip perawatan luka decubitus adalah mobilisasi.

Dalam studi literatur yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat kisah tentang 7 pemuda yang tidur selama 350 tahun yang dikenal sebagai Ash Habul Kahfi. Secara logika dengan durasi waktu tidur yang sangat panjang mereka akan mengalami decubitus, namun ternyata Allah SWT menunjukkan kebesaran-NYa. Tak satupun Ashabul Kahfi mengalami decubitus. Sebab Allah SWT telah membolak-balikkan mereka seperti dalam firman-Nya:

“Dan kamu mengira mereka itu bangun,padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan kekiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka” (Al-Qur’an:18(18))

Jadi prinsip perawatan luka decubitus sekaligus prinsip pencegahan  adalah PERUBAHAN POSISI.

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Minggu, 10 Januari 2010

PROGRAM PENCEGAHAN DECUBITUS melalui GERAKAN NASIONAL STOP DECUBITUS

Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN


LATAR BELAKANG
Decubitus merupakan silence epidemiology. Berdasarkan sebuah studi, insidens kejadian decubitus di Indonesia cukup tinggi yaitu 33.3% (Suriadi, 2006), ironisnya angka inipun tertinggi bila dibandingkan dengan Negara-negara yang ada di ASEAN. Masalah decubitus bukan hanya masalah pada lukanya, dampak terhadap kualitas hidup (quality of life) seperti nyeri, bau yang tidak nyaman, gangguan istirahat, gangguan interaksi social, gangguan peran dll menjadi aspek yang kadang terabaikan. Pada tatanan supra systempun, masalah decubitus bukan hanya masalah adanya luka pada pasien, tapi berdampak pada length of stay yang berdampak pada penurunan BOR Rumah Sakit.Hingga saat ini kita belum pernah mendengar adanya program pencegahan decubitus baik bersifat lokal maupun nasional.

Sayangnya belum ada penelitian di Indonesia tentang cost atau biaya yang dikeluarkan dalam perawatan luka decubitus, baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung. Sebagai gambaran di Belanda biaya perawatan decubitus $ 362 million- $ 2,8 billion dan potensial menyerap 1 % dari total biaya kesehatan nasional (Severens, et al 2002) sedangkan Di UK biaya perawatan decubitus mencapai 1.4 billion-2.1 billion per tahun dan menyerap 4 % dari total biaya kesehatan nasional (Bennet, et all 2004).

Bahkan di Amerika Serikat dan Inggris decubitus sudah dianggap sebagai Nursing Negligence (kelalaian perawat) sehingga seorang pasien (atau keluarga) bisa menggugat ke pengadilan manakala dalam perawatan pasien menderita decubitus (sebagai infeksi nosokomial). Lantas apakah decubitus merupakan tanggung jawab penuh seorang perawat? Tidak, decubitus merupakan masalah bagaimana bentuk pelayanan itu diberikan dan bagaimana pelayanan itu diterima oleh pasien.

Ironisnya, ternyata 95 % decubitus dapat dicegah, literature lain bahkan menunjukkan pencegahan yang baik dapat menurunkan kerusakan integritas kulit termasuk luka decubitus yang pada akhirnya akan memberikan kenyamanan emosional bagi pasien, keluarga, dan pemberi asuhan. Oleh karena itu pencegahan decubitus menjadi kunci utama dalam manajemen luka decubitus. Perawatan kulit yang baik akan memberikan dampak positif pada pasien, termasuk moral, harga diri, dan kemungkinan terjadinya nyeri dan infeksi. Keluarga juga harus dilibatkan dalam perencanaan asuhan keperawatan sehingga merasa turut bertanggung jawab dalam setiap program edukasi yang diberikan.

Ada korelasi yang jelas antara policy (kebijakan) Rumah Sakit dengan kejadian decubitus. Contoh yang umum di beberapa rumah sakit menggunakan kasur yang dilapisi dengan perlak (terpal) plastick, dengan maksud mencegah agar urine, feses, eksudat, dari pasien tidak tembus di kasur, namun disisi lain perlak (terpal) plastic justru meningkatkan evaporasi pada kulit pasien yang berdampak meningkatnya kelembaban kulit, kalau sudah begini decubitus akan dating. Ironis, pelayanan rumah sakit kok berorientasi ingin menyelamatkan tempat tidur bukan berorientasi ke kenyamanan dan keselamatan pasien!!!

TUJUAN GERAKAN NASIONAL STOP DECUBITUS
1. Meningkatkan kualitas Asuhan Keperawatan.
2. Mengurangi biaya dan lama perawatan.
3. Melindungi perawat dari kelalaian dan malpraktek.
4. Meningkatkan kepuasan pasien.

BENTUK GERAKAN
Baik intstitusi pelayanan dan institusi pendidikan dapat mengambil bagian dalam “Gerakan Nasional Stop Decubitus”. sebagai program pencegahan decubitus yang terintegrasi dan terpadu. Contoh perawat yang bekerja di institusi pendidikan keperawatan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Memasukkan pokok bahasan “Pengkajian Decubitus” dalam mata kuliah Kebutuhan Dasar Manusia.
2. Memasukkan pokok bawahan “Asuhan Keperawatan Decubitus” pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
3. Menjadikan “Decubitus” sebagai variable dalam penelitian.
4. Memilih “Decubitus” sebagi tema dalam kegiatan Seminar Nasional, Lokakarya,Workshop.
5. Mengembangkan kegiatan Pendidikan Keperawata Berkelanjutan dengan tema sentra “Decubitus”.

Contoh peran perawat yang bekerja di institusi pelayanan yang dapat dilakukan dalam Gerakan Nasional ini, antara lain:
1. Pencegahan decubitus melalui deteksi dini resiko decubitus dengan menggunakan Braden Scale di bangsal atau Suriadi Sanada Scale (SS Scale ) di ruang ICU.
2. Melakukan dokumentasi dalam perawatan luka decubitus.
3. Menyusun standar Asuhan Perawatan Decubitus.
4. Mengkampanyekan “Bangsal Bebas Decubitus” hingga “Rumah Sakit Bebas Decubitus”.
5. Melaksanakan in house training untuk mengupgrade pengetahuan dan keterampilan perawat dalam perawatan decubitus.

Sebagai penutup Gerakan Nasional Stop Decubitus merupakan gerakan moril dalam menjamin pemberian Asuhan Keperawatan yang bermutu tinggi sebagai wujud tanggung jawab terhadap profesi dan masyarakat Indonesia. Masalah decubitus bukanlah persoalan luka semata, akan tetapi mencerminkan bagaimana bentuk pelayanan diberikan oleh perawat dan diterima oleh pasien.

Oleh karena itu perlu usaha dan upaya sistematis dalam pencegahan decubitus di bumi pertiwi, kita buktikan bahwa PERAWAT bisa memberikan konstribusi dalam mewujudkan INDONESIA SEHAT 2010. Untuk itu menghadapi momentum tahun baru 2010, disaat yang lain merayakan dengan membakar petasan, kita bakar semangat dan kebersamaan kita untuk mengkampanyekan “GERAKAN NASIONAL STOP DECUBITUS” deteksi sebelum terjadi, kenapa tidak! ayo bergabung, ambil bagian atau jadi penonton.

Jumat, 08 Januari 2010

SAMBUTAN PRESIDENT InETNA DALAM RANGKA PENCANANGAN GERAKAN NASIONAL STOP DECUBITUS TAHUN 2010

Sebentar lagi kita akan jelang tahun 2010 yang semoga di tahun yang baru ini semangat untuk tetap memberikan pelayanan terbaik bagi pasien-pasien kita, bagi masyarakat luas…..akan lebih besar lagi.
Saya Ani Maryani , MKep, ETN ketua InETNA (Indonesian Enterostomal therapist Nurse Association) suatu organisasi yang begerak di bidang Stoma, Luka dan inkontinensia ingin mengajak sejawat untuk bersama-sama meningkatkan semangat untuk memberikan yang terbaik. Semangat ini hendaknya kita mulai dari hal-hal yang tampak didepan mata kita sehari-hari, menjaga pasien-pasien kita dari komplikasi akibat imobilisasi contohnya. Salah satu hal kecil tetapi membawa dampak besar adalah mencegah pasien dari decubitus.
MENGAPA DEKUBITUS???? Pertanyaan yang sangat menarik, karena dekubitus sering dijadikan salah satu indicator mutu pelayanan suatu rumah sakit. Angka dekubitus tinggi, berarti pelayanan dianggap tidak bermutu demikian sebaliknya. Perawat berada 24 jam bersama pasien di rumah sakit dan dibeberapa tatanan rawat inap lainnya, sehingga menjadi profesi yang terlama berada dekat dengan pasiennya. Perawat sering menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian dekubitus, karena sebenarnya perawat dapat mencegah kejadian dekubitus atau paling tidak menurunkan angka kejadian dekubitus karena kepeduliannya.
Mencegah kejadian dekubitus berarti telah mencegah pasien dari kerugian dan membantu mereka menurunkan lama hari rawat, menurunkan biaya RS, dan mencegah dari kemungkinan mengalami kerugian yang lebih besar, untuk itu perawat hendaknya meningkatkan kepeduliannya.
Peduli untuk mengkaji resiko terjadi dekubitus, peduli untuk mengubah posisi, peduli untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi pasien sehingga terhindar dari resiko terjadi dekubitus dan sekian banyak kepedulian yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mencegah dekubitus. Karena sebagai profesi mereka memiliki kemampuan itu,
Di awal tahun 2010 ini mari kita mulai dengan satu kata, satu hati untuK bersama-sama BERTERIAK dan MENUNJUKKAN KOMITMEN YANG TINGGI MELALUI KINERJA SEPENUH HATI untuk STOP DEKUBITUS!!!!!
Begitu banyak harapan yang dapat kita raih ditahun 2010, semoga harapan itu dapat benar-benar kita capai, termasuk terwujudnya UU KEPERAWATAN YANG SAAT INI MASIH MENUNGGU SAAT-SAAT PENGESAHANNYA…..

SAHABATKU, SELAMAT TAHUN BARU 2010……

SALAM SEJAWAT

ANI MARYANI, MKep, ETN
Presiden InETNA

Rabu, 30 Desember 2009

FACTS ABOUT PRESSURE ULCER

What are pressure ulcers?
Pressure ulcers are a breakdown of the tissue under the skin and ultimately the skin itself due to
unrelieved pressure. The pressure squeezes the blood vessels and cuts off oxygen and nutrients.
It is important to recognize that not all skin breakdowns are pressure ulcers. Skin, like other body
organs, can fail.
Underlying circulatory problems, such as diabetic complications, are often the cause of lower-extremity
pressure ulcers. In these situations, the development of pressure ulcers cannot be prevented.
In fact, not all skin breakdowns are preventable.
More about pressure ulcers
Pressure ulcers are also referred to as decubitus, dermal ulcers, bedsores or pressure sores.
Most pressure ulcers form over bony areas such as the buttocks, tailbone, shoulder blades, behind the
knee or ankle, and the heel of the foot.
One of the earliest signs of a pressure ulcer is a reddened area of skin that remains red after
the pressure is relieved. Pressure ulcers can develop quickly, particularly in a person whose health is
already compromised.
Pressure ulcers may take a long time to heal, depending upon a person’s age and physical condition.
Only 13 percent of pressure ulcers heal within two weeks in an acute hospital, and only one-third of the
most severe pressure ulcers heal after six months of therapy.
Pressure ulcers may accompany the terminal stages of many disease processes that cause multiple,
body-system failures. In these cases, the comfort of your loved one should be the primary goal as
opposed to aggressive preventative measures.

Risk factors and the effects of aging
Many seniors are at risk for pressure ulcers because of serious medical problems, decreased appetite and
decreased mobility. Factors in the development of pressure ulcers include:
• Decrease in body fat causing less padding over the bones
• Slower wound healing
• Decreased blood flow to the tissues
• Diminished sensation and ability to recognize pain
• Bowel and/or urinary incontinence
• Reduced mobility due to osteoarthritis or stroke
• Inability to get out of or move in bed due to illness
• Acute illness, such as pneumonia
• Poor nutrition
• Age (over 70 years)
• Indirect pressure (e.g., friction)
• Decreased mental awareness due to anesthesia or dementia
• Diminished sensation due to diabetes, strokes or other causes
• Recent surgical procedure

Prevention
Prevention, when and where possible, is the best care for pressure ulcers. Some preventative
steps include:
• Identifying persons at risk and assessing the skin for early signs of problems
• Changing the sheets and the person’s position
• Attempting to maintain nutrition
• Providing bedding and seating surfaces which support and reduce pressure
• Attempting to keep the skin clean and dry and protected from friction
• Refraining from massages over bony prominences
• Consulting with the nurse or your doctor before using hot water, soap, creams, ointments
or powder
• Attempting to protect elbows and heels by using special garments

Treatment
The treatment of pressure ulcers may include:
• Relieving the pressure to the affected area and treating any pain
• Keeping the area as clean as possible
• Using dressings with a moist healing rather than dry bandages
• Treating infection when present
• Offering food and fluids

What you can do to help
• Advise the nurses if there is any pain or redness over a site common to pressure ulcers.
• Bring appropriate clothing and footwear from home.
• Offer fluids to your loved one when you visit upon approval from the care team.
• Encourage your loved one to consume meals, snacks and fluids.
• Encourage your loved one to be active and out of the room.
• Encourage your loved one to lie in different positions in bed.
• Remind your loved one to shift weight as often as possible while in chair or bed.
• Encourage your loved one to participate in bathing and showering.
• Be sure the call button is within reach when you leave.
• Provide us with accurate telephone numbers for family members or other caregivers.
from:http://www.goldenliving.com